Profil Sejarah Gereja Sto. Yoseph Penfui Kupang

Profil Sejarah Gereja Sto. Yoseph Penfui Kupang

 1.1 Letak Geografis

Paroki St. Yoseph Pekerja Penfui merupakan salah satu paroki dari Keuskupan Agung Kupang, terletak di wilayah  bagian Timur dengan jarak ± 13 km dari rumah Keuskupan. Secara geografis wilayah paroki Penfui berbatasan dengan tiga paroki lain dan teluk Kupang.

1. Bagian Timur berbatasan dengan wilayah paroki Tarus.

2. Bagian Barat berbatasan dengan wilayah paroki Sta. Maria Assumpta.

3. Bagian Selatan berbatasan dengan Paroki Fransiskus BTN Kolhua.  

4. Bagian Utara berbatasan dengan wilayah paroki Buraen.


1.2  Keadaan Sosial

1.2.1  Keadaan Sosial Ekonomi

Dilihat  dari keadaan geografisnya, paroki Penfui memiliki wilayah yang luas dengan jumlah umat sejak berdiri sampai sekarang 15. 216 jiwa. Dari jumlah ini sebagian besarnya bermata pencaharian sebagai petani, namun ada pula sebagai Pegawai Negeri Sipil, pengusaha, guru, sopir, tukang ojek, tukang bangunan dan lainnya. Dengan  banyaknya kelompok-kelompok ini, maka berbeda pula tingkatan pendatapan dari setiap kelompok terutama setiap orang. Karena itu beda pula tingkat pemenuhan kebutuhan setiap orang dalam kelompok dengan yang lainnya. Dari kelompok-kelompok tersebut masih ada yang digolongkan sebagai keluarga miskin, lemah secara ekonomi.

1.2.2  Keadaan Sosial Budaya

Dari segi budaya, ada berbagai budaya yang ada dan berkembang di wilayah paroki St. Yoseph Pekerja Penfui seperti Flores, Timor, Rote, Sabu, dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari catatan sejarah orang-orang yang datang dan tinggal menetap (para perantau). 

1.2.3  Keadaan Sosial Religius

Dalam merefleksikan dirinya, manusia percaya akan adanya  sesuatu yang ada mengatasi dirinya. Ia merupakan kekuatan yang lebih dan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan diri manusia itu sendiri. Kekuatan tersebut tak dapat ditangkap dan diindrai oleh mata fisik manusia. Di sini manusia hanya meyakini sepenuhnya bahwa dia yang lain ada bersamanya. Dia itulah Allah, yang secara fisis tidak dapat diindrai tetapi Dia mewahyukan diri lewat ciptaan lain. Berhadapan dengan hal ini manusia patuh, tunduk, dan taat pada-Nya.

Selain berkembang agama Katolik di wilayah paroki Penfui yang dibawa oleh para perantau, berkembang pula penganut agama lain seperti Protestan, Islam dan lainnya. Semuanya hidup berdampingan satu sama lain dan saling menghormati sebagai orang yang beriman akan Allah.

Oleh karena kerja keras para perantau ini maka Gereja Katolik berkembang dan jumlah anggotanya semakin meningkat walaupun dalam prosesnya menemui banyak tantangan. Dari data statistik paroki tahun 2005 diketahui bahwa jumlah umat paroki St. Yoseph Pekerja Penfui sebanyak 15. 216 jiwa.

2.1 Sejarah Berdiri

2.1.1  Masuknya Agama Katolik

Sebelum datangnya para misionaris ke wilayah Penfui sampai terbentuknya paroki, agama Katolik sudah ada dan berkembang. Antara tahun 1940/1942 sesudah Perang Dunia II, para perantau dari Flores (Larantuka, Adonara, Solor, Lembata dan Maumere) dan Belu penganut Katolik datang dan tinggal di Penfui sebagai pekerja harian pada pemerintah Belanda. Kebanyakan dari antara mereka bekerja sebagai pekerja kasar, kuli di jalan raya, kuli bangunan dan ada yang bekerja di toko-toko berhubung minimnya pendidikan dan pengetahuan. Pada suatu saat karena pemerintah Belanda memerlukan tenaga Angkatan Perang, maka para perantau ini sebagian diambil dan dilatih  untuk menjadi militer baik Angkatan Darat maupun Angkatan Udara. Sedangkan penduduk asli yang berdiam di Penfui telah menjadi anggota Gereja Protestan dan yang lainnya menganut agama asli. Perantau lain yaitu dari suku Rote dan suku Sabu yang  Protestan pun datang dan tinggal di sana.

Para perantau dan orang asli, sesungguhnya tidak berdiam di Penfui tetapi mereka mendiami perkampungan di sekitar Penfui. Hal ini disebabkan oleh karena pada saat itu  Penfui diduduki oleh Belanda dan menjadi daerah pertahanan militer mereka. Perkampungan-perkampungan yang menjadi tempat tinggal para perantau dan orang asli meliputi Air Baru, Naimata, Liliba, Hati Nusa, dan Sunkaen. Tempat-tempat ini letaknya di bagin Barat Penfui. Bagian Selatan meliputi Bini Laka, Bone Ana, Bone Naek, dan Kapu. Sedangkan bagian Timur meliputi Fena, Nunuhauno, Talan, Bifai, Kaniti, dan bagin Selatan meliputi Oesapa. Oleh karena tempat-tempat ini didiami oleh orang asli, bersama suku Rote dan suku Sabu yang Protestan maka mereka anti terhadap Gereja Katolik yang hadir dan berkembang di sini. Akibatnya para perantau yang beriman Katolik yang tinggal di antara mereka dilarang untuk berkumpul dan berdoa bersama-sama.

Melihat persoalan seperti ini, pemerintah Belanda menyediakan rumah sebagai tempat kebaktian untuk digunakan oleh orang-orang Katolik dan Protestan untuk kebaktian secara bergantian pada setiap hari minggu. Letak rumah tersebut berada di dalam kompleks perumahan militer Belanda. Tetapi yang terjadi bahwa hampir setiap minggu rumah kebaktian itu digunakan oleh orang-orang Protestan. Sedangkan para perantau yang beriman Katolik jarang menggunakannya karena hanya satu sampai tiga bulan baru mendapat pelayanan dari pastor. Selain itu pula jumlah imam sangat kurang maka hanya  satu orang imam yang harus melayani beberapa tempat yaitu wilayah Kupang dan Amarasi, sedangkan Rote dan Sabu dilayani oleh P. J. Kersten, SVD.

Walaupun menemui banyak kendala, namun orang-orang Katolik selalu berusaha untuk tetap berdoa. Bagi mereka yang masih kuat, pada hari minggu ketika tidak mendapat kunjungan pastor untuk perayaan ekaristi, mereka berjalan kaki ke Bakunase. Sedangkan mereka yang tinggal, berkumpul dan berdoa bersama. Dan tempat yang biasa digunakan untuk berdoa adalah pak laru (tempat di mana orang biasa menjual minuman). Laru adalah sejenis minuman yang dibuat dari nira kelapa atau lontar. Tempat tersebut merupakan milik seorang perantau dari Lembata bernama Petrus; istrinya dari suku Rote.  Hal ini terjadi karena tidak ada tempat lain atau rumah para perantau lain yang lebih luas sehingga bisa menampung semua orang Katolik untuk berdoa sementara jumlah orang Katolik semakin bertambah.

Oleh karena kelompok-kelompok ini baik para perantau maupun penduduk asli mendiami tempat yang sama maka timbul rasa ketertarikan diantaranya baik wanita ataupun laki-laki untuk membangun suatu keluarga baru, karena pada umumnya para perantau yang datang masih bujang, belum menikah. Sekitar tahun 1947 sampai 1952, para perantau yang beriman Katolik ini mulai melamar para gadis penduduk asli dan perantau dari suku Rote dan Sabu sebagai istri. Untuk hal ini tidak begitu gampang karena orang tua gadis tidak mudah untuk melepaskan anak gadis mereka menikah dengan orang Katolik. Alasannya bahwa dengan menikah maka anak mereka akan berpindah ke Gereja Katolik. Sering kali juga calon istri sendiri yang tidak mau menikah jika masuk  Katolik. Bahkan yang lainnya berusaha supaya calon  suaminya yang berpindah ke Gereja Protestan. Alasan-alasan ini dikemukakan karena bagi mereka Gereja Katolik adalah agama baru, agama yang menyembah berhala, agama yang percaya kepada Mariam (Maria), agama yang percaya kepada patung-patung dan gambar-gambar hasil karya tangan manusia.

Bagi para perantau, persoalan-persoalan tersebut tidaklah begitu sulit untuk dipecahkan karena mereka sudah sedikitnya mengenal dan mengetahui adat dan budaya ketiga kelompok ini. Karena itu jalan yang ditempuh adalah jalur adat. Apabila ingin meminang seorang gadis hal pertama yang tidak perlu dibicarakan adalah soal pernikahan. Sebab bila demikian maka yang dimaksud adalah  soal agama. Untuk itu hal yang dibicarakan adalah soal adat seperti belis, air susu ibu, siri pinang dan sebagainya.  Dengan mendahulukan semua ini maka orang tua gadis akan menerima lamaran mereka. Dengan demikian calon istri pun tidak memberi renspon untuk menolak.

Dari hasil perkawinan itu lahirlah anak-anak dan bertambahlah jumlah anggota dalam Gereja Katolik. Agar pengajaran iman terus berlangsung maka orang-orang Katolik memilih salah satu dari antara mereka menjadi guru agama. Bapak Andreas Kedati adalah perantau pertama yang datang di Kupang dan tinggal di Penfui, maka dia dipilih menjadi guru agama pertama. Satu hal menarik yang menyebabkan bertambahnya jumlah orang Katolik adalah bahwa istri-istri para perantau yang sudah menjadi  Katolik mengajak saudara-saudara mereka yang datang mengunjungi mereka untuk masuk Gereja Katolik. Atau sering kali mereka berusaha agar saudara-saudara mereka menikah dengan pemuda Katolik. Orang-orang dari daerah Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS), Alor pun berdatangan dan tinggal di Penfui. Dengan demikian jumlah orang Katolik bertambah.

Melihat jumlah umat Katolik yang semakin hari semakin bertambah maka seorang imam misionaris P. J. Kooy, SVD yang pada waktu itu tinggal di Kupang berkeputusan untuk datang dan tinggal di Penfui pada tahun 1972-1974. Dua tahun kemudian beliau kembali ke Kupang tetapi ia tetap memberi pelayanan di Penfui. Pada tahun 1973 mulai dibangun gedung gereja secara permanen. Akan tetapi pada tahun yang sama karena tenaga kerja terbatas maka proses pembangunan Gereja Penfui dihentikan sementara waktu dan tenaga kerja yang ada lebih dipusatkan pada pembangunan Gereja Naikoten. Setelah rampung, mereka kembali untuk menyelesaikan pembangunan gereja Penfui yang tertunda pada tanggal 1 Juni 1977 hingga selesai. Tanggal 1 Oktober 1978 Gereja yang baru mulai digunakan dan kemudian diresmikan sebagai paroki dengan nama Paroki St. Yoseph Pekerja Penfui.

2.1.2  Para Pionir

Yang menjadi pionir dalam menyebarkan iman Katolik di wilayah Penfui adalah kaum awam dalam hal ini para perantau. Dalam perjalan waktu, para imam misionaris turut mengambil bagian dalam karya pewartaan. Para   pionir yang dimaksud antara lain:

1. Bapak Andreas Kedati

Beliau adalah perantau pertama dari Flores yang tiba dan menetap di Penfui, sebelum Perang Dunia II. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, ia berusaha menyebarkan dan mewartakan iman Katolik terutama menghimpun dan memimpin doa bersama saudara perantau yang datang kemudian. Ia kemudian diangkat menjadi guru agama. Dalam karya pewartaannya, ia mendapat banyak tantangan dari pihak Protestan namun ia tetap bertekun dalam pewartaannya. Hasilnya adalah tidak sedikit orang Protestan yang menaruh simpati dan kemudian memutuskan untuk menjadi penganut agama Katolik. Berkat ketekunan dan keteguhannya, maka wilayah pewartaannya diperluas hingga ke Baumata, Oeltua, Kaniti, Tarus, Naimata, dan Noeltes.

2. Bapak Donatus Fernandez

Pada tahun 1951-1952 bapak Andreas Kedati memilih dan mengangkat bapak Donatus Fernandez sebagai guru agama untuk melayani umat di wilayah Penfui. Selain menjadi guru agama, tugas pokok bapak Donatus Fernandez yaitu sebagai pegawai Seny Ganie Dinas Militer Angkatan Darat Belanda. Sebagai guru agama, tugas utama yang harus dilakukan adalah mengajar agama, mempersiapkan para calon baptis, calon komuni pertama, memimpin doa pada setiap hari minggu, mempersiapkan umat dan gereja pada saat kunjungan pastor, serta mempersiapkan mereka yang akan menerima sakramen perkawinan.

3. Bapak Yoakim Laga

Bapak Yoakim Laga diserahi tugas sebagai guru agama untuk menggantikan bapak Donatus Fernandes, yang pada saat itu dipindahtugaskan  ke Sulawesi. Tugas pewartaan dan pengajaran agama selanjutnya ditangani oleh Yoakim Laga.

4. P. Visser, SVD

Misionaris ini adalah pastor pembantu paroki Kupang. Dalam tugas pelayanannya, beliau juga sering memberi pelayanan kepada umat di wilayah Penfui. Melihat jumlah umat yang sekian banyak dan kurang mendapat pembinaan iman secara baik maka ia turut membantu para guru agama dalam pembinaan umat.

2.3  Data Perkembangan Umat

Kelompok perantau dan pekerja yang beragama Katolik (dari Flores, Belu, TTU, TTS dan Alor) sebagaimana digambarkan di atas terus berkembang. Kendati dari catatan sejarah, secara statistik tidak ditampilkan bahkan tidak ditemukan secara  pasti berapa jumlah umat Katolik setiap tahunnya di tahun 1940-an sampai tahun 1950-an, namun dapat dipastikan bahwa jumlah semula terus bertambah.

Berikut akan dikemukakan data perkembangan jumlah umat di Paroki Penfui dari tahun 1950-2005 (Jumlah Umat terbaru sedang dikerjakan) untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan jumlah umat setiap tahunnya.


No

Tahun

Jumlah Umat

Peningkatan/Thn

Tgl. 1 Januari

Tgl. 31 Desember

1

1950

784

814

30

2

1951

814

867

53

3

1952

867

954

87

4

1953

954

987

33

5

1954

987

1.034

47

6

1955

1.034

1.083

49

7

1956

1.083

1.095

12

8

1957

1.095

1.180

85

9

1958

1.180

1.254

74

10

1959


Informasi Paroki Santo Yoseph Pekerja - Penfui

Alamat

Penfui, Kupang, Nusa Tenggara Timur

Telepon

Telepon tidak tersedia

Email

info@parokisantoyosephpenfui.com

Jam Operasional

Senin-Jumat: 08:00-17:00 Sabtu: 08:00-12:00 Minggu: 07:00-12:00